Padang- Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan (Pedoman Simposium, 2016). Integritas juga dapat diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Dari pengertian tentang integritas ini menunjukan kepada kita bahwa integritas pada diri seorang manusia memegang peranan penting pada kemuliaannya sebagai seorang manusia. Kemudian bagi kehidupan bermasyarakat, adanya integritas pada orang-orangnya akan menjamin adanya tatanan masyarakat yang baik. Ini berarti integritas adalah salah satu penentu keberadaban dan kehebatan suatu bangsa.
Konsep integritas pada Executive Brain Assessment diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) dimensi yaitu kejujuran, konsistensi, dan keberanian yaitu: kejujuran, konsistensi dan keberanian. Kejujuran (honesty) adalah dimensi potensi integritas yang menunjukkan aspek komponen integritas pada kesadaran kebenaran dalam sikap kejujuran, yang terdiri dari aspek empati (empathy), tidak mudah untuk menuduh orang lain bersalah (lack of blame) dan rendah hati (humility). Konsistensi (concistency) adalah dimensi potensi integritas yang menunjukkan komponen integritas pada konsistensi dalam perbuatan, yang terdiri dari aspek pengendalian emosi (emotional mastery), akuntabel (accountability), dan fokus menyeluruh (focus on the whole).
Semangat membangun nilai-nilai integritas dalam era globalisasi dan kondisi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat memiliki arti penting dan strategis untuk mewujudkan tujuan sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Implementasi nilai-nilai integritas akan membangun jati diri bangsa. Bagi pegawai negeri sipil sebagai aparatur sipil negara yang melaksanakan fungsi pemerintah yaitu: penyelanggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat tentunya sangatlah diperlukan, sehingga tugas pokok dan fungsi dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Tinggi rendahnya capaian kinerja individu dan organisasi sangatlah ditentukan sampai sejauh mana nilai-nilai integritas dapat diimplementasinya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.
Salah satu contoh nya di mulai dari Penyelenggara pemilu yang berpengaruh besar terhadap proses pemilu yang berintegritas. Banyaknya penyelenggara pemilu yang terjerat kasus korupsi dan pelanggaran kode etik di masa lalu menjadi tantangan besar bagi Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu periode 2022-2027 untuk melahirkan anggota yang berintegritas.
Salah satu instrument negara hukum Indonesia adalah pembuatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan, salah satu instrument negara Indonesia yang demokratis adalah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Tidak hanya sebagai sarana perwujudan demokrasi, Pemilu juga merupakan sarana memperjuangkan kepentingan politik dalam bentuk proses seleksi terhadap pengisian jabatan wakil rakyat dan pemimpin eksekutif.
Pemilu di Indonesia mengalami dinamika yang cukup dinamis. Setidaknya, setelah reformasi yang membuahkan amandemen UUD NRI 1945. Salah satu hasil dari amademen tersebut, Pemilu diatur sebagai salah satu materi muatan konstitusi yang dimaksudkan untuk pengisian jabatan wakil rakyat dan pemimpin eksekutif. Ketentuan ini untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan itu dalam UUD NRI 1945, maka lebih menjamin waktu penyelenggaraan pemilu secara teratur reguler (per lima tahun) maupun menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). (Huda, 2011, 225).
Untuk menjamin Pemilu yang free and fair yang sangat penting bagi negara demokrasi diperlukan perlindungan bagi para pemilih, bagi setiap Untuk menjamin Pemilu yang free and fair yang sangat penting bagi negara demokrasi diperlukan perlindungan bagi para pemilih, bagi setiap pihak yang mengikuti Pemilu maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum. Jika pemilihan dimenangkan melalui cara-cara curang (malpractices), sulit dikatakan bahwa para pemimpin atau para legislator yang terpilih di parlemen merupakan wakil-wakil rakyat. (Santoso 2006, v).
Mengenai persoalan integritas penyelenggara Pemilu, telah disebutkan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa di era modern ini dunia mengalami kegoncangan nilai dan norma yang cukup kuat. Krisis moral dan etika kehidupan berbangsa terutama krisis nilai pada aspek politik begitu terasa. Penyimpangan etika privat dan etika publik dalam bernegara mengalami peningkatan dan kekacauan norma seakan-akan terus terjadi dalam praktik pengelolaan negara sehingga dalam suasana globalisasi kita gamang menghadapinya, dengan sikap responsif. (Asshiddiqie, 2013, 22).
Ramlan Subakti merumuskan paling tidak delapan kriteria pemilu berintegritas, yaitu:
- Hukum pemilu dan kepastian hukum;
- Kesetaraan antar warga negara, baik dalam pemungutan dan penghitungan suara maupun dalam alokasi kursi DPR/DPRD dan pembentukan daerah pemilihan;
- Persaingan bebas dan adil;
- Partisipasi pemilih dalam pemilu;
- Penyelenggara pemilu yang mandiri, kompetensi, berintegritas, efesien dan kepemimpinan yang efektif;
- Proses pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan asas pemilu demokratik dan prinsip pemilu berintegritas;
- Keadilan pemilu; dan
- Tidak ada kekerasaan dalam proses pemilu. Kekerasan pemilu adalah setiap tindakan yang mencederai orang atau ancaman mencederai atau barang berkaitan dengan pemilu. (Subakti, makalah, 2016).
Penyelenggara Pemilu merupakan entitas yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pemilu dan terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang berfungsi sebagai satu kesatuan dalam melaksanakan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Hal ini juga mencakup pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara demokratis.
Integritas penyelenggara pemilu menjadi kebutuhan mutlak dalam upaya mencapai pemilu yang bermutu. Beberapa kasus terkini terkait penyelenggara pemilu, seperti suap dan ketidaknetralan, berasal dari rendahnya integritas penyelenggara pemilu terkait. Dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban mereka, penyelenggara pemilu diharapkan untuk selalu mematuhi kode etik. Kode Etik Penyelenggara Pemilu merupakan kumpulan prinsip moral, etika, dan filosofi yang membimbing perilaku penyelenggara pemilu dalam bentuk kewajiban atau larangan, serta tindakan atau perkataan yang pantas atau tidak pantas dilakukan oleh mereka.
Meskipun pelanggaran etika tidak selalu disebabkan oleh rendahnya integritas, tetapi juga dapat berkaitan dengan faktor profesionalitas, namun fenomena ini menjadi perhatian bersama, termasuk bagi para penyelenggara pemilu. Kasus pelanggaran etika penyelenggara pemilu seharusnya dapat dihindari jika mereka selalu mematuhi pedoman perilaku yang telah ditetapkan, seperti yang diatur dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017, mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan umum.
Untuk mempertahankan integritas, penyelenggara pemilu diwajibkan mematuhi prinsip-prinsip jujur, mandiri, adil, dan akuntabel. Jujur diartikan sebagai niat untuk menyelenggarakan Pemilu sesuai ketentuan yang berlaku tanpa adanya kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Mandiri berarti mereka bebas dari campur tangan atau pengaruh pihak manapun yang memiliki kepentingan terhadap tindakan, keputusan, atau putusan yang diambil. Prinsip adil mengharuskan penyelenggara pemilu menempatkan segala sesuatu sesuai dengan hak dan kewajibannya, sementara akuntabel mengindikasikan bahwa tugas dan kewajiban mereka dilaksanakan secara penuh tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan hukum.
Dalam menerapkan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu harus menolak menerima uang, barang, jasa, janji, atau pemberian lainnya secara langsung atau tidak langsung dari peserta pemilu, calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan tim kampanye, kecuali dari sumber APBN/APBD sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun Kode Etik dan Pedoman Perilaku telah merinci rambu-rambu yang wajib diikuti oleh penyelenggara pemilu, penerapan aturan tersebut tetap bergantung pada tingkat integritas individu penyelenggara pemilu yang bersangkutan.
Cicin Febriani
Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Baiturrahmah